Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara,
termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya
dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika
Serikat.
Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang diyakininya kuat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Pro dan kontra tetag hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang. tidak hanya terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan, khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka melakukan kejahatan?
Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dikatakan Alkitab tentang hukuman mati, inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini.
HUKUM DAN NEGARA
DEFINISI HUKUMAN MATI
Hukum adalah undang-undang, namun secara tradisional hukum lebih–lebih dipandang sebagai bersifat idiil atau etis. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung. Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum.
Sejak abad pertengahan dalam transisi filsafat hukum lima jenis hukum tersebut:
• Hukum abadi (lex aeterna): rencana Allah tentang aturan semesta alam.
• Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.
• Hukum alam (lex naturalis): hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi manusia.
• Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa.
• Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata hukum negara.
Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris. Di mana telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat yang bersangkutan..
Pada penerapannya, terjadi ketidak-jelasan akan pemikiran hukum.Pada umumnya terdapat pendapat bahwa pada penerapa hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.
Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku. Penerapan kepastian hukum oleh pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan disiplin atau stabilitas nasional.
RELASI ANTARA HUKUM DAN NEGARA
Bangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa:
Sifat negara hukum itu ialah di manaalat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip “rule of law”.
Ciri-ciri khas suatu Negara Hukum adalah:
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidag politik, hukum, social, ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh semua kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
c. Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya.
Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika. Dan juga yang mana di dalam pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan.
Paham negara hukum berbasis pada keyakinan banyak orang bahwa kekuasaan suatu pemerintahan negara harus dijalankan di atas dasar hukum yang baik dan yang adil. Berbicara tentang kekuasaan pemerintah, Dalam bukunya mengenai negara (Les Six livers de la Republique, enam kitab prihal Republik, 1576), Jean Bodin mengemukakan konsepya tentang kedaulatan. Di mana kedaulatan itu diartikannya sebagai kekuasaan tertinggi dari raja dalam negara, yang merupakan suatu kekuasaan yang tinggal dan tidak dapat dibagi-bagi serta tidak terbatas lingkungan, tujuan dan waktu. Ajaran Bodin itu menghasilkan tesis bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara merupakan sumber eksklusif dan asli daripada hukum positif.
HUKUMAN MATI
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa.
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Dan di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin. Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
* sengatan listrik: Amerika Serikat
* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
* ditembak dibalik tirai: Thailand, Vietnam
* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
* rajam: Arab, Afganistan, Iran (khusus pelaku zina yang sudah bersuami/beristri)
PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG KASUS HUKUMAN MATI
Kelompok yang mendukung diadakannya hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang memiliki hak untuk hidup dan tidak disiksa, maupun dianiaya. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjuaunan dari Perpektif Alkitab” mengatakan bahwa hukuman mati adalah retribusi yang mana sering dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keiginan yang kuat dari seseorag untuk melukai dan menyengsarahkan orang lain sebagai pukulan balik pada orang yang melukai dia. Yang mana biasanya dilandasi dengan kekejaman dan kemarahan.
Bagi umat islam, mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Di mana hukuman mati tidak haya dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan kasus pembunuhan namun kepada homoseksual, pezina muhshan, hukum syara, serta orang yang murtad.
Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu jawazir: mencegah kejahatan yang lebih besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman masyarakat akan terjaga. Kedua jawabir, penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat.
Yang menjadi pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi kepentingan hukuman mati namun bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat terealisasikan.hukuman Mati.
Kontra, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Bagi mereka, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.
PERSPEKTIF KEKRISTENAN TENTANG HUKUMAN MATI
Berbeda dengan umat islam, banyak orang Kristen yang melihat kasus hukuman mati dari perpektif humanistik di mana mereka hanya melihat dari sisi kemanusiaannya saja. Namun ini bukan berarti kekristenan memandang hukuman mati secara humanistik. Mengingat Alkitab memiliki otoritas dalam kehidupan kekristenan, Alkitab pun patut berbicara tentang hukuman mati. Di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru mencatat beberapa kasus hukuman mati.
Dalam Perajanjian Lama
Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan (Keluaran 21:12), penculikan (Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Keluaran 22:19), perzinahan (Imamat 20:10), homoseksualitas (Imamat 20:13), menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5, pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) dan berbagai kejahatan lainnya.
Eka Darmaputra mengungkapkan paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati dalam Perjanjian Lama, yaitu:
(a) membunuh dengan sengaja;
(b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan;
(c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain;
(d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia;
(e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting;
(f) menculik;
(g) mencaci atau melukai orang tua sendiri;
(h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta
(i) melanggar akidah atau aturan agama.
Pada akhirnya semua dosa yang kita perbuat sepantasnyalah diganjar dengan hukuman mati (Roma 6:23). Meskipun hal-hal diatas merupakan perbuatan yang harus mendapat sangsi hukuman mati, Allah seringkali menyatakan kemurahan ketika harus menjatuhkan hukuman mati. Contohnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun Allah tidak menuntut untuk nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 14-17; 2 Samuel 12:13).
Beberapa peristiwa yang menunjukan hukuman mati dalam perjanjian lama:
(a) Kejadian 9:6, yakni tenang Perjanjian Nuh.
Ini merupakan pernyataan yang paling sederhana mengenai mandat untuk melaksankan hukuman mati untuk tidak kejahatan pembunuhan manusia. Di mana setiap orang harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Dalam peristiwa ini, Allah menghukum manusia dengan memunahkannya dengan air bah.
(b) Hukum Musa (Keluaran 21:12)
Hukuman mati adalah bagian dari hukuman musa. Keluaran 21:12 mengatakan “Siapa yang memukul seseorag hingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Namun hukuman mati dalam hukum Musa ini tidak dibatasi akibat dari kejahatan pembunuhan tetapi juga hal-hal yang telah Eka Darmaputra jelaskan dalam bagian paper ini sebelumnya.
(c) Dosa dan Hukuman Akhan (Yosua 7)
Hukuman mati yang dialami oleh Akhan atas dosanya. Hukuman mati yang dijatuhkan langsung dari Allah ini tidak langsung Allah berikan karena sebelumnya Allah telah memberi kesempatan untuk mengakui kesalahanya, namun Akhan tidak mengindahkannya dan disaat itu juga Allah menggambil nyawanya. Ini merupakan salah satu peristiwa hukuman mati yang secara langsung Allah berikan kepada umat-Nya yang melakukan dosa.
Dalam Perjanjian Baru
Ketika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah sementara berzinah dan bertanya kepadaNya apakah wanita itu perlu dirajam, Yesus menjawab “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7). Hal ini tidak dapat diartikan bahwa Yesus menolak hukuman mati dalam segala hal. Karena dalam bagian ini Yesus hanya bermaksud untuk mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Di mana Orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama.
Hukuman mati telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tercantum pada kejadia 9:6: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Dan Yesus akan mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Di mana Yesus juga menunjukkan anugerah ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11).
Salah satu contoh peristiwa hukuman mati yang Allah berikan secara langsung adalah peristiwa Annanias dan Safira istrinya. Mereka yang bersepakat untuk menjual tanah mereka dan hasilnya dipersembahkan kepada Tuhan, namun mereka hanya memberikan sebagian. Dosa yang mereka lakukan bukan pemberian yang sebagian dari keseluruhan hasil yang didapatnya melainkan ketidak-jujurannya di mana ia mengatakan seluruh dari hasil penjualan tanahnya dan bukan sebagian, padahal sesungguhnya yang diberikannya hanyalah sebagian. Dalam kasus ini Allah memberi hukuman mati secara langsung kepada mereka dihadapan jemaat mula-mula (Kis 5).
Jadi, pada dasarnya Allah mengijinkan adanya hukuman mati dan bahkan Allah sendiri yang menetapkan hukuman mati. Namun pada saat yang sama Allah tidak selalu menuntut hukuman mati itu diadakan.
Pandangan orang Kristen yang seharusnya terhadap hukuman mati:
1. Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firmanNya. Allah memiliki standar yang paling tinggi dari semua makhluk karena Dia adalah sempurna adanya. Manusia tidak dapat menentukan standar penilaian akan perbuatan seseorang dan hanya Allah yang dapat memberlakukannya. Karena itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Namun Allah juga memiliki murka yang tanpa batas, dan semua ini terjaga dengan seimbang.
2. Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Tidak dapat dikatakan bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal. Karena Allah telah memberikan hak kepada pemerintah. Jika hukuman mati itu seseorang terima, itu adalah kehendak Allah. Allah tidak pernah membiarkan segala sesuatu lepas dari kontrol Allah.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara.
Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.
Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak lepas dari ijin Allah.
Allah telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika dibutuhkan (Roma 13:1-5).
Allah tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga menunjukkan kasih-Nya.
Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi hukum Taurat namun bukan berarti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati yang telah ditetapkan-Nya. Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati adalah tanda keadilan Allah yang menghukum, demikian pula kemungkinan grasi dan amnesty adalah tanda kasih karunia atau rahmat Tuhan.”
DAFTAR PUSTAKA
Galus, Ben S. Mencari Hubungan Antara Kekuasaan Negara dan Hukum. Ilmu dan Budaya, No. 2, Th. 14, 1992.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. .Yogjakarta: Kanisius.
Kameo, Jefferson. Ideologi di Balik Negara Hukum. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Kompas, 15 Mei 2005. Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak.
KontraS, Jakarta, 2006. Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap,
Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 1976.
Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak.
Republika, 21 Maret 2005. Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim
Siburian, Togardo. Classnote Etika Sosial dan Politik. Bandung: STTB, 2009.
Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Suara Pembaruan, 3 April 2005. Tolak Hukuman Mati.
Sutanto, Iskandar. Hukuman Mati: Suatu Tinjauan Dari Perspektif ALkitab. Jurnal: JT Aletheia, Vol. 1, No. 1, September 1995.
Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang diyakininya kuat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Pro dan kontra tetag hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang. tidak hanya terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan, khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka melakukan kejahatan?
Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dikatakan Alkitab tentang hukuman mati, inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini.
HUKUM DAN NEGARA
DEFINISI HUKUMAN MATI
Hukum adalah undang-undang, namun secara tradisional hukum lebih–lebih dipandang sebagai bersifat idiil atau etis. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung. Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum.
Sejak abad pertengahan dalam transisi filsafat hukum lima jenis hukum tersebut:
• Hukum abadi (lex aeterna): rencana Allah tentang aturan semesta alam.
• Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.
• Hukum alam (lex naturalis): hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi manusia.
• Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa.
• Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata hukum negara.
Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris. Di mana telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat yang bersangkutan..
Pada penerapannya, terjadi ketidak-jelasan akan pemikiran hukum.Pada umumnya terdapat pendapat bahwa pada penerapa hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.
Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku. Penerapan kepastian hukum oleh pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan disiplin atau stabilitas nasional.
RELASI ANTARA HUKUM DAN NEGARA
Bangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa:
Sifat negara hukum itu ialah di manaalat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip “rule of law”.
Ciri-ciri khas suatu Negara Hukum adalah:
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidag politik, hukum, social, ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh semua kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
c. Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya.
Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika. Dan juga yang mana di dalam pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan.
Paham negara hukum berbasis pada keyakinan banyak orang bahwa kekuasaan suatu pemerintahan negara harus dijalankan di atas dasar hukum yang baik dan yang adil. Berbicara tentang kekuasaan pemerintah, Dalam bukunya mengenai negara (Les Six livers de la Republique, enam kitab prihal Republik, 1576), Jean Bodin mengemukakan konsepya tentang kedaulatan. Di mana kedaulatan itu diartikannya sebagai kekuasaan tertinggi dari raja dalam negara, yang merupakan suatu kekuasaan yang tinggal dan tidak dapat dibagi-bagi serta tidak terbatas lingkungan, tujuan dan waktu. Ajaran Bodin itu menghasilkan tesis bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara merupakan sumber eksklusif dan asli daripada hukum positif.
HUKUMAN MATI
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa.
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Dan di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin. Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
* sengatan listrik: Amerika Serikat
* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
* ditembak dibalik tirai: Thailand, Vietnam
* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
* rajam: Arab, Afganistan, Iran (khusus pelaku zina yang sudah bersuami/beristri)
PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG KASUS HUKUMAN MATI
Kelompok yang mendukung diadakannya hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang memiliki hak untuk hidup dan tidak disiksa, maupun dianiaya. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjuaunan dari Perpektif Alkitab” mengatakan bahwa hukuman mati adalah retribusi yang mana sering dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keiginan yang kuat dari seseorag untuk melukai dan menyengsarahkan orang lain sebagai pukulan balik pada orang yang melukai dia. Yang mana biasanya dilandasi dengan kekejaman dan kemarahan.
Bagi umat islam, mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Di mana hukuman mati tidak haya dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan kasus pembunuhan namun kepada homoseksual, pezina muhshan, hukum syara, serta orang yang murtad.
Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu jawazir: mencegah kejahatan yang lebih besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman masyarakat akan terjaga. Kedua jawabir, penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat.
Yang menjadi pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi kepentingan hukuman mati namun bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat terealisasikan.hukuman Mati.
Kontra, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Bagi mereka, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.
PERSPEKTIF KEKRISTENAN TENTANG HUKUMAN MATI
Berbeda dengan umat islam, banyak orang Kristen yang melihat kasus hukuman mati dari perpektif humanistik di mana mereka hanya melihat dari sisi kemanusiaannya saja. Namun ini bukan berarti kekristenan memandang hukuman mati secara humanistik. Mengingat Alkitab memiliki otoritas dalam kehidupan kekristenan, Alkitab pun patut berbicara tentang hukuman mati. Di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru mencatat beberapa kasus hukuman mati.
Dalam Perajanjian Lama
Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan (Keluaran 21:12), penculikan (Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Keluaran 22:19), perzinahan (Imamat 20:10), homoseksualitas (Imamat 20:13), menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5, pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) dan berbagai kejahatan lainnya.
Eka Darmaputra mengungkapkan paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati dalam Perjanjian Lama, yaitu:
(a) membunuh dengan sengaja;
(b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan;
(c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain;
(d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia;
(e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting;
(f) menculik;
(g) mencaci atau melukai orang tua sendiri;
(h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta
(i) melanggar akidah atau aturan agama.
Pada akhirnya semua dosa yang kita perbuat sepantasnyalah diganjar dengan hukuman mati (Roma 6:23). Meskipun hal-hal diatas merupakan perbuatan yang harus mendapat sangsi hukuman mati, Allah seringkali menyatakan kemurahan ketika harus menjatuhkan hukuman mati. Contohnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun Allah tidak menuntut untuk nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 14-17; 2 Samuel 12:13).
Beberapa peristiwa yang menunjukan hukuman mati dalam perjanjian lama:
(a) Kejadian 9:6, yakni tenang Perjanjian Nuh.
Ini merupakan pernyataan yang paling sederhana mengenai mandat untuk melaksankan hukuman mati untuk tidak kejahatan pembunuhan manusia. Di mana setiap orang harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Dalam peristiwa ini, Allah menghukum manusia dengan memunahkannya dengan air bah.
(b) Hukum Musa (Keluaran 21:12)
Hukuman mati adalah bagian dari hukuman musa. Keluaran 21:12 mengatakan “Siapa yang memukul seseorag hingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Namun hukuman mati dalam hukum Musa ini tidak dibatasi akibat dari kejahatan pembunuhan tetapi juga hal-hal yang telah Eka Darmaputra jelaskan dalam bagian paper ini sebelumnya.
(c) Dosa dan Hukuman Akhan (Yosua 7)
Hukuman mati yang dialami oleh Akhan atas dosanya. Hukuman mati yang dijatuhkan langsung dari Allah ini tidak langsung Allah berikan karena sebelumnya Allah telah memberi kesempatan untuk mengakui kesalahanya, namun Akhan tidak mengindahkannya dan disaat itu juga Allah menggambil nyawanya. Ini merupakan salah satu peristiwa hukuman mati yang secara langsung Allah berikan kepada umat-Nya yang melakukan dosa.
Dalam Perjanjian Baru
Ketika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah sementara berzinah dan bertanya kepadaNya apakah wanita itu perlu dirajam, Yesus menjawab “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7). Hal ini tidak dapat diartikan bahwa Yesus menolak hukuman mati dalam segala hal. Karena dalam bagian ini Yesus hanya bermaksud untuk mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Di mana Orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama.
Hukuman mati telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tercantum pada kejadia 9:6: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Dan Yesus akan mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Di mana Yesus juga menunjukkan anugerah ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11).
Salah satu contoh peristiwa hukuman mati yang Allah berikan secara langsung adalah peristiwa Annanias dan Safira istrinya. Mereka yang bersepakat untuk menjual tanah mereka dan hasilnya dipersembahkan kepada Tuhan, namun mereka hanya memberikan sebagian. Dosa yang mereka lakukan bukan pemberian yang sebagian dari keseluruhan hasil yang didapatnya melainkan ketidak-jujurannya di mana ia mengatakan seluruh dari hasil penjualan tanahnya dan bukan sebagian, padahal sesungguhnya yang diberikannya hanyalah sebagian. Dalam kasus ini Allah memberi hukuman mati secara langsung kepada mereka dihadapan jemaat mula-mula (Kis 5).
Jadi, pada dasarnya Allah mengijinkan adanya hukuman mati dan bahkan Allah sendiri yang menetapkan hukuman mati. Namun pada saat yang sama Allah tidak selalu menuntut hukuman mati itu diadakan.
Pandangan orang Kristen yang seharusnya terhadap hukuman mati:
1. Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firmanNya. Allah memiliki standar yang paling tinggi dari semua makhluk karena Dia adalah sempurna adanya. Manusia tidak dapat menentukan standar penilaian akan perbuatan seseorang dan hanya Allah yang dapat memberlakukannya. Karena itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Namun Allah juga memiliki murka yang tanpa batas, dan semua ini terjaga dengan seimbang.
2. Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Tidak dapat dikatakan bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal. Karena Allah telah memberikan hak kepada pemerintah. Jika hukuman mati itu seseorang terima, itu adalah kehendak Allah. Allah tidak pernah membiarkan segala sesuatu lepas dari kontrol Allah.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara.
Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.
Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak lepas dari ijin Allah.
Allah telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika dibutuhkan (Roma 13:1-5).
Allah tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga menunjukkan kasih-Nya.
Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi hukum Taurat namun bukan berarti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati yang telah ditetapkan-Nya. Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati adalah tanda keadilan Allah yang menghukum, demikian pula kemungkinan grasi dan amnesty adalah tanda kasih karunia atau rahmat Tuhan.”
DAFTAR PUSTAKA
Galus, Ben S. Mencari Hubungan Antara Kekuasaan Negara dan Hukum. Ilmu dan Budaya, No. 2, Th. 14, 1992.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. .Yogjakarta: Kanisius.
Kameo, Jefferson. Ideologi di Balik Negara Hukum. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Kompas, 15 Mei 2005. Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak.
KontraS, Jakarta, 2006. Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap,
Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 1976.
Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak.
Republika, 21 Maret 2005. Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim
Siburian, Togardo. Classnote Etika Sosial dan Politik. Bandung: STTB, 2009.
Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Suara Pembaruan, 3 April 2005. Tolak Hukuman Mati.
Sutanto, Iskandar. Hukuman Mati: Suatu Tinjauan Dari Perspektif ALkitab. Jurnal: JT Aletheia, Vol. 1, No. 1, September 1995.
Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
0 komentar:
Post a Comment