Teten Masduki,
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati
bagi koruptor. "Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang
megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus
Teten kepada hukumonline.
Di mata Teten, tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak
asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki
sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di
berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis.
Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
telah menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak
menikmati malah ikut menanggung derita.
Teten berpendapat, para
koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang 'merampok'
uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas
teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya. "Saya sudah muak.
Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati," tegas Teten.
Kegeraman Teten cukup
beralasan. Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar
rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali
(Djoko S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern
(Samadikun Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap
bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.
Bertentangan dengan HAM
Namun, para aktivis di
bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para
koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati
bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
Asmara Nababan,
Direktur Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati
dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan
internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada
1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan hukuman
mati dan memberikan hak untuk hidup.
Hingga 9 Desember 2002,
tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap kovenan ini.
Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan
ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Selain itu, hukuman
mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang
adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal
28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.
Menurut Asmara, ancaman
hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam kepada
penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak
akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya.
"Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di
masyarakat," ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini kepada hukumonline.
Tidak ada korelasi
Asmara juga tidak
setuju jika para koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara yang
menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu
korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban,"
katanya.
Bhatara Ibnu Reza,
peneliti Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi
langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia
mencontohkan, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum
mati di China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang
masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia," katanya.
Sejak
1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak
pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan
penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi
Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah
dan 11 orang dihukum mati.
Pada
9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati
hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil
Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah
menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai
AS$200.000.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy
oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup
dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan
pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal
sebagai salah satu "Mr Clean".
Sulit dilaksanakan
Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain
komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak
hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor.
Belum
lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati.
Munarman dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak
hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.
Ada ungkapan menarik
dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa
hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita
ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah, orang-orang yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka mengatakan hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap Bagir.
Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
Lalu, bagaimana dengan
para koruptor yang telah melakukan kejahatan ekonomi. Pantaskah hukuman
mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan
masyarakat? Bagaimana pendapat Anda?
0 komentar:
Post a Comment